2. STATUS PENGEMBANGAN SUMBER
DAYA AIR DI INDONESIA
2.1
Sejarah Pembangunan Infrastruktur Sumber Daya Air di Indonesia
Kebijakan
pembangunan infrastruktur di Indonesia telah dimulai sejak masa Hindia-Belanda,
terutama untuk sektor sumber daya air dengan dikeluarkannya Peraturan Umum
tentang Air (Algemeene Water Reglement (AWR) pada tahun 1936
dan AlgemeeneWaterbeheersverordening pada tahun 1937) dan
diikuti dengan Peraturan Air tingkat Propinsi Provinciale Water
Reglement (Jawa Timur dan Jawa Barat) pada tahun 1940. Pada masa
setelah kemerdekaan, peraturan yang ditetapkan sejalan dengan UUD 1945.
Pembangunan
infrastruktur secara menyeluruh selanjutnya dimulai dengan disusunnya Rencana
Pembangunan Lima Tahun – I (REPELITA I) periode 1968/1969 – 1973/1974
termasuk sektor sumber daya air, transportasi, dan listrik. Pembangunan
infrastruktur dilaksanakan secara cepat selama pelaksanaan REPELITA I hingga
VI. Pembangunan infrastruktur di sektor sumber daya air telah berhasil
meningkatkan produksi pangan hingga mencapai swasembada pangan pada tahun 1980.
Sejalan dengan pertumbuhan penduduk, telah dikembangkan juga infrastruktur
pengairan dan sanitasi terutama sejak pelaksanaan REPELITA III. Namun demikian,
pembangunan tidak dapat mengimbangi pertumbuhan penduduk dimana cakupan
pelayanan hanya dapat mencapai sekitar 55% dari jumlah penduduk di Indonesia.
Mengingat
pengembangan sumber daya air di Indonesia selalu mengalami peningkatan dan
perubahan dari waktu ke waktu, maka dari itu sangat diperlukan untuk melakukan
pengembangan dan peningkatan sektor sumber daya air baik dari segi kebijakan,
peraturan dan perundang-undangan, aspek kelembagaan, maupun pelaksanaan di
lapangan. Hal tersebut perlu diintegrasikan dengan paradigm pembangunan
nasional dan pembangunan sumber daya air secara keseluruhan.
Dengan
meningkatnya permintaan masyarakat untuk sumber daya air baik secara kuantitas
maupun kualitas, maka dapat mendorurng untuk penguatan nilai ekonomi sumber
daya air dibandingkan dengan nilai sosial dan berpotensi untuk terjadi konflik
kepentingan antar sector, antar wilayah dan antar berbagai pihak yang terkait
sumber daya air. Pengelolaan sumber daya air yang lebih mempertimbangkan nilai
ekonomi akan cenderung untuk memberikan manfaat yang lebih banyak kepada
kepentingan penguatan ekonomi dan akan mengesampingkan kepentingan sosial dan
pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat terhadap air. Hal ini akan menjadi
kerugian bagi kelompok masyarakan yang tidak mampu bersaing karena rendahnya
kemampuan ekonomi, bahkan akan menyebabkan hak dasar setiap orang untuk
mendapatkan air tidak dapat dipenuhi. Mengingat sumber daya air merupakan
sumber kehidupan, pemerintah wajib melindungi kepentingan kelompok masyarakat
berkemampuan ekonomi rendah untuk mendapatkan sumber daya air secara adil
dengan menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan sumber daya air yang mampu
menyeimbangkan antara nilai sosial dan nilai ekonomi sumber daya air.
2.2
Status dan Karakteristik Sumber Daya Air di Indonesia
Secara
umum, sektor sumber daya air di Indonesia menghadapi permasalahan jangka
panjang terkait dengan pengelolaan dan tantangan investasi , yang akan
mempengaruhi pembangunan ekonomi negara dan menyebabkan berkurangnya keamanan
pangan, kesehatan masyarakat dan kerusakan lingkungan. Pada tingkat kebijakan
dan pelaksanaan, Indonesia menghadapi beberapa permasalahan spesifik seperti
sebagai berikut:
a.Ketidakseimbangan
antara pasokan dan kebutuhan dalam perspektif ruang dan waktu. Indonesia yang
terletak di daerah tropis merupakan negara kelima terbesar di dunia dalam hal
ketersediaan air. Namun, secara alamiah Indonesia menghadapi kendala dalam
memenuhi kebutuhan air karena distribusi yang tidak merata baik secara spasial
maupun waktu, sehingga air yang dapat disediakan tidak selalu sesuai dengan
kebutuhan, baik dalam perspektif jumlah maupun mutu.
b.Meningkatnya
ancaman terhadap keberlanjutan daya dukung sumber daya air, baik air permukaan
maupun air tanah. Kerusakan lingkungan yang semakin luas akibat kerusakan hutan
secara signifikan telah menyebabkan penurunan daya dukung Daerah Aliran Sungai
(DAS) dalam menahan dan menyimpan air. Hal yang memprihatinkan adalah indikasi
terjadinya proses percepatan laju kerusakan daerah tangkapan air. Kelangkaan
air yang terjadi cenderung mendorong pola penggunaan sumber air yang tidak
bijaksana, antara lain pola eksploitasi air tanah secara berlebihan sehingga
mengakibatkan terjadinya penurunan permukaan dan kualitas air tanah, intrusi
air laut, dan penurunan permukaan tanah
c.Menurunnya
kemampuan penyediaan air. Berkembangnya daerah permukiman dan industri telah
menurunkan area resapan air dan mengancam kapasitas lingkungan dalam
menyediakan air. Pada sisi lain, kapasitas infrastruktur penampung air seperti
waduk dan bendungan makin menurun sebagai akibat meningkatnya sedimentasi,
sehingga menurunkan keandalan penyediaan air untuk irigasi maupun air baku.
Kondisi ini diperparah dengan kualitas operasi dan pemeliharaan yang rendah
sehingga tingkat layanan prasarana sumber daya air menurun semakin tajam.
d.Meningkatnya
potensi konflik air. Sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan kualitas
kehidupan masyarakat, jumlah kebutuhan air baku bagi rumah tangga, permukiman,
pertanian maupun industri juga semakin meningkat. Pada tahun 2003, secara
nasional kebutuhan air mencapai 112,3 miliar meter-kubik dan diperkirakan pada tahun
2009 kebutuhan air akan mencapai 117,7 miliar meter-kubik. Kebutuhan air yang
semakin meningkat pada satu sisi dan ketersediaan yang semakin terbatas pada
sisi yang lain, secara pasti akan memperparah tingkat kelangkaan air.
e.Kurang
optimalnya tingkat layanan jaringan irigasi. Jaringan irigasi terbangun di
Indonesia berpotensi melayani 6,77 juta hektar sawah. Dari jaringan irigasi
yang telah dibangun tersebut diperkirakan sekitar 1,67 juta hektar, atau hampir
25 persen, masih belum atau tidak berfungsi. Untuk jaringan irigasi rawa, hanya
sekitar 0,8 juta hektar (44 persen) yang berfungsi dari 1,80 juta hektar yang
telah dibangun. Selain penurunan keandalan layanan jaringan irigasi, luas sawah
produktif beririgasi juga makin menurun karena alih fungsi lahan menjadi
non-pertanian terutama untuk perumahan
f.Makin
meluasnya abrasi pantai. Perubahan lingkungan dan abrasi pantai mengancam
keberadaan lahan produktif dan wilayah pariwisata. Selain itu, abrasi pantai
pada beberapa daerah perbatasan dapat menyebabkan bergesernya garis perbatasan
dengan negara lain. Dengan demikian di wilayah-wilayah tersebut, pengamanan
garis pantai mempunyai peran strategis dalam menjaga keutuhan wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia
g.Lemahnya
koordinasi, kelembagaan, dan ketatalaksanaan. Perubahan paradigma pembangunan
sejalan dengan semangat reformasi memerlukan beberapa langkah penyesuaian tata
kepemerintahan, peran masyarakat, peran BUMN/BUMD, dan peran swasta dalam
pengelolaan infrastruktur sumber daya air. Penguatan peran masyarakat,
pemerintah daerah, BUMN/BUMD, dan swasta diperlukan dalam rangka memperluas dan
memperkokoh basis sumber daya. Meskipun prinsip-prinsip dasar mengenai hal tersebut
telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air,
namun masih diperlukan upaya tindak lanjut untuk menerbitkan beberapa produk
peraturan perundangan turunan dari undang-undang tersebut sebagai acuan
operasional. Pada aspek institusi, lemahnya koordinasi antarinstansi dan
antardaerah otonom telah menimbulkan pola pengelolaan sumber daya air yang
tidak efisien, bahkan tidak jarang saling berbenturan. Pada sisi lain,
kesadaran dan partisipasi masyarakat, sebagai salah satu prasyarat terjaminnya
keberlanjutan pola pengelolaan sumber daya air, masih belum mencapai tingkat
yang diharapkan karena masih terbatasnya kesempatan dan kemampuan.
h.Rendahnya
kualitas pengelolaan data dan sistem informasi. Pengelolaan sumber daya air
belum didukung oleh basis data dan sistem informasi yang memadai. Kualitas data
dan informasi yang dimliki belum memenuhi standar yang ditetapkan dan tersedia
pada saat diperlukan. Berbagai instansi mengumpulkan serta mengelola data dan
informasi tentang sumber daya air, namun pertukaran data dan informasi antar
instansi masih banyak mengalami hambatan. Masalah lain yang dihadapi adalah
sikap kurang perhatian dan penghargaan akan pentingnya data dan informasi
3. PENGELOLAAN
SUMBER DAYA AIR DI INDONEISA
3.1 Pengembangan
Infrastruktur Sumber Daya Air
Untuk
peningkatan sumber daya air di Indonesia, masih banyak diperlukan pembangunan
bendungan, waduk, dan sistim jaringan irigasi yang handal untuk menunjang
kebijakan ketahanan pangan pemerintah. Di samping itu untuk menjamin
ketersediaan air baku, tetap perlu dilakukan normalisasi sungai dan
pemeliharaan daerah aliran sungai yang ada di beberapa daerah. Pemeliharaan dan
pengembangan Sistem Wilayah Sungai tersebut didekati dengan suatu rencana
terpadu dari hulu sampai hilir yang dikelola secara profesional. Untuk itu
perlu dikembangkan teknologi rancang bangun Bendungan Besar, Bendung Karet,
termasuk terowongan, teknologi Sabo, sistem irigasi maupun rancang bangun
pengendali banjir.
Saat
ini terdapat beberapa Daerah Aliran Sungai (DAS) yang memiliki peran penting
dalam penyediaan sumber air sebagian telah mengalami kerusakan yaitu 62 DAS
rusak dari total 470 DAS, sehingga mengakibatkan menurunnya nilai kemanfaatan
air sehubungan penurunan fungsi daerah tangkapan dan resapan air. Saat ini
jaringan irigasi terbangun mencapai 6,77 juta ha (1,67 juta ha belum
berfungsi), dan jaringan irigasi rawa 1,8 juta ha yang berfungsi untuk
mendukung Program Ketahanan Pangan Nasional.
Namun
di sisi lain perkembangan fisik wilayah telah memberikan dampak pada terjadinya
alih fungsi lahan pertanian sekitar 35 ribu ha per tahun.
1.1 Pelaksanaan
Pengelolaan Sumber Daya Air
Indonesia
telah melakukan langkah maju dalam pelaksanaan Kebijakan Pengelolaan Sumber
Daya Air secara terpadu (Integrated Water Resources Management –
IWRM) yang menjadi perhatian dunai internasional untuk meningkatkan pengelolaan
sumber daya air dalam mencapai kesejahteraan umum dan pelestarian lingkungan.
Sejalan dengan konsep IWRM yang berkembang di forum internasional, beberapa
tindakan telah diambil di tingkat nasional dan daerah dalam rangka reformasi
kebijakan sumber daya air.
Reformasi
dalam pengelolaan sumber daya air merupakan salah satu tindakan penting untuk
mengatasi pengentasan kemiskinan, ketahanan pangan, dan konservasi sumber daya
alam. Dalam pelaksanaannya, telah diterbitkan beberapa kebijakan antara lain
diberlakukannya Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (UU SDA)
yang sejalan dengan prinsip-prinsip IWRM. Undang-undang ini bertujuan untuk
pelaksanaan pengelolaan sumber daya air secara menyeluruh, berkelanjutan, dan
melalui pendekatan terbuka sehingga memberikan pilihan bagi masyarakat bisnis
dan organisasi non-pemerintah untuk berpartisipasi dalam proses perencanaan dan
pelaksanaan pengelolaan sumber daya air terpadu.
Undang-Undang
Sumber Daya Air menyatakan visi, misi, dan prinsip-prinsip pengelolaan sumber
daya air di Indonesia, sebagai dasar untuk pelaksanaan IWRM. Visi untuk
pengelolaan sumber daya air berdasarkan UU SDA adalah “Sumber daya air dikelola
secara menyeluruh, terpadu, dan berwawasan lingkungan hidup dengan tujuan
mewujudkan kemanfaatan sumber daya air yang berkelanjutan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat” (Pasal 3 UU SDA). Untuk menjalankan visi tersebut, telah
diidentifikasi lima misi pengelolaan sumber daya air, yaitu: 1) konservasi
sumber daya air, 2) pendayagunaan sumber daya air; 3) pengendalian daya rusak
air; 4) pemberdayaan dan peningkatan peran masyarakat, dunia usaha, dan
pemerintah; dan 5) perbaikan data dan informasi yang ketersediaan dan
transparansi. Selanjutnya, dalam rangka untuk mencapai misi tersebut,
pengelolaan sumber daya air dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip harmoni,
kesetaraan, kesejahteraan umum, integritas, keadilan, otonomi, transparansi dan
akuntabilitas
1.2 Pelaksanaan
Pengelolaan Irigasi
Indonesia
telah memulai untuk melaksanakan reformasi terhadap kebijakan pengelolaan
irigasi sejak diterapkannya Kebijakan Operasi dan Pemeliharaan Irigasi (Irrigation
Operation and Maintenance Policy – IOMP) pada tahun 1987. Upaya
reformasi tersebut merupakan respon terhadap kurangnya pembiayaan, kapasitas
kelembagaan dan institusi, permasalahan kinerja yang dihadapi Pemerintah dalam
rangka menjaga irigasi yang keberlanjutan.
Pada
tahun 1999, pemerintah menerapkan kebijakan baru yang disebut Reformasi
Kebijakan Pengelolaan Irigasi karena pelaksanaan IOMP tahun 1987 tidak sesuai
dengan yang diharapkan dan krisis moneter yang terjadi pada tahun 1997 telah
mendorong pemerintah untuk meninjau ulang kebijakan pelayanan publik termasuk
untuk pengelolaan irigasi. Kedua kebijakan tersebut telah membuka ruangan yang
lebih besar dan menuntut peran utama petani untuk pengelolaan irigasi melalui
Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A). Penerapan kedua kebijakan tersebut
memberlakukan kembali komitmen pemerintah untuk perubahan pengelolaan irigasi
dari dominasi institusi pemerintah menjadi bentuk baru dalam pengaturan
kelembagaan yang mengedepankan kerjasama antara pemerintah dengan petani.
Sebagai bentuk baru pengaturan kelembagaan, diperlukan penguatan P3A dan
kerjasama yang berkesinambungan menjadi agenda penting dalam perubahan
pengelolaan irigasi.
Pada
tahun 2006, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2006
tentang Irigasi sebagaimana yang diamanatkan Undang-undang No 7 tahun 2004
tentang Sumber Daya Air. PP tentang irigasi tersebut mendorong Pembangunan dan
Pengelolaan Sistem Irigasi parisipatif (PPSIP) sebagai pelaksanaan irigasi
berbasis partisipasi petani mulai, perencanaan, pengambilan keputusan, dan
pelaksanaan kegiatan pada tahap pembangunan, peningkatan, operasi dan
pemeliharaan, serta rehabilitasi untuk menjaga pemanfaatan air dalam bidang
pertanian berdasarkan prinsip partisipatif, kesetaraan, kesejahteraan
umum, keadilan, otonomi, transparansi dan akuntabilitas, serta berwawasan
lingkungan.
Pengelolaan
sistem irigasi partisipatif melibatkan semua pihak yang berkepintingan dengan
mengedepankan kepentigan dan peran serta petani. Pelaksaannnya difasilitasi
oleh Pemerintah tingkat Pusat, Provinsi, maupun Kabupaten/Kota sesuai dengan
kewenangannya dan memberikan bantuan sesuasi dengan yang dibutuhkan oleh P3A
dengan tetap memperhatikan prinsip kemandirian.
Pemberdayaan
dan pendayagunaan kelembagaan pengelolaan irigasi perlu dilakukan untuk menjamin
pengelolaan irigasi. Kelembagaan pengelolaan irigasi tersebut meliputi instansi
pemerintah, perkumpulan petani pemakai air (P3A), dan komisi irigasi.
Perkumpulan petani pemakai air dibentuk secara demokratis pada setiap daerah
layanan/petak tersier atau desa dan dapat membentuk gabungan perkumpulan petani
pemakai air (GP3A) pada daerah layanan/blok sekunder, gabungan beberapa blok
sekunder, atau satu daerah irigasi. Selain itu perlu dibentuk juga induk
perkumpulan petani pemakai air (IP3A) pada daerah layanan/blok primer, gabungan
beberapa blok primer, atau satu daerah irigasi. Sementara itu, Komisi Irigasi
dibentuk untuk mewujudkan keterpaduan pengelolaan sistem irigasi pada setiap
provinsi dan kabupaten/kota.
2. KEBIJAKAN
PENGEMBANGAN SUMBER DAYA AIR
2.1 Arah
Kebijakan
Berdasarkan
peraturan terkait dan dokumen-dokumen perencanaan pembangunan nasional, arah
kebijakan dalam pengelolaan sumber daya air sebagai berikut:
1.
Mewujudkan sinergi dan mencegah konflik antar wilayah, antar sektor, dan antar
generasi dalam rangka memperkokoh ketahanan nasional, persatuan, dan kesatuan
bangsa.
2.
Mendorong proses pengelolaan sumberdaya air yang terpadu antar sektor dan antar
wilayah yang terkait di pusat, propinsi, kabupaten/kota dan wilayah sungai.
3.
Menyeimbangkan upaya konservasi dan pendayagunaan sumberdaya air agar terwujud
kemanfaatan air yang berkelanjutan bagi kesejahteraan seluruh rakyat baik pada
generasi sekarang maupun akan datang.
4.
Menyeimbangkan fungsi sosial dan nilai ekonomi air untuk menjamin pemenuhan
kebutuhan pokok setiap individu akan air dan pendayagunaan air sebagai
sumberdaya ekonomi yang memberikan nilai tambah optimal dengan memperhatikan
biaya pelestarian dan pemeliharaannya.
5.
Melaksanakan pengaturan sumber daya air secara bijaksana agar pengelolaan
sumber daya dapat diselenggarakan seimbang dan terpadu.
6.
Mengembangkan sistem pembiayaan pengelolaan sumberdaya air yang
mempertimbangkan prinsip cost recovery dan kondisi sosial
ekonomi masyarakat.
7.
Mengembangkan sistem kelembagaan pengelolaan sumberdaya air yangmembuka akses
partisipasi masyarakat serta mewujudkan pemisahan fungsi pengatur (regulator)
dan fungsi pengelola (operator).
2.2 Pembiayaan
Pembangunan Sumber Daya Air
Dana
infrastruktur sumber daya air dianggarkan di tingkat pemerintah pusat melalui
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan di tingkat daerah
melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Penganggaran di tingkat
pusat dilakukan melalui koordinasi antara lembaga-lembaga yang melibatkan Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) dalam mengembangkan Rencana Kerja
Pemerintah tahunan. APBN dapat bersumber dari mata uang lokal, pinjaman,
dan hibah dari Negara/lembaga donor.
Penganggaran
di tingkat daerah prosesnya sama dengan proses penganggaran di tingkat pusat.
Sumber untuk Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) berasal dari Pendapatan
Asli Daerah (PAD) dan pinjaman atau hibah yang dianggarkan dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Selain itu, anggaran untuk Pemerintah
Daerah dapat berasal dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK),
dan Dana Bagi Hasil (DBH) yang dilaksanakan berdasarkan undang-undang yang
berlaku.
3. PEMBANGUNAN
INFRASTRUKTUR SUMBER DAYA AIR YANG BERKELANJUTAN
Pembangunan
berkelanjutan sangat memperhatikan optimalisasi manfaat sumber daya alam dan
sumber daya manusia dengan cara menyelaraskan aktivitas manusia dengan
kemampuan sumber daya alam untuk menopangnya. Komisi dunia untuk lingkungan dan pembangunan
mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai pembangunan yang memenuhi
kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan hak pemenuhan kebutuhan generasi
mendatang.
Tujuan
pembangunan berkelanjutan yang bermutu adalah tercapainya standar kesejahteraan
hidup manusia yang layak, sehngga tercapai taraf kesejahteraan masyarakat
secara menyeluruh. Taraf kesejahteraan ini diusahakan dicapai dengan menjaga
kelestarian lingkungan alam serta tetap tersediannya sumber daya yang
diperlukan. Salah satu konsep terkait dengan pembangunan yang memperhatikan
dampak terkecil dari kerusakan lingkungan tetapi menghasilkan manfaat yang
optimal adalah kosep Eco-Efficiency.
3.1 Konsep
Eco- Efficiency
Eco-efficiency
untuk pertama kalinya dipromosikan dalam The World Business Council on
Sustainable Development (WBCSD) sebagai konsep bisnis untuk
memperbaiki kinerja ekonomi dan kondisi lingkungan pada setiap
perusahaan. Eco-efficiency telah dipertimbangkan dengan
memperhitungkan penghematan sumber daya dan pencegahan polusi dari industri
manufaktur sebagai pemicu untuk inovasi dan daya saing di semua jenis
perusahaan. Pasar uang juga mulai mengenali nilai eco-efficiency karena
banyak perusahaan yang menerapkan eco-efficiency dapat
menghasilkan performa yang lebih baik secara finansial.
Menurut
Tamlyn, pengertian eco-efficiency perlu memperhatikan dampak
lingkungan meliputi pertimbangan ekologi dan ekonomi yang merupakan strategi
untuk mengurangi dampak lingkungan dan meningkatkan nilai produksi. Dengan
mempertimbangkan hal-hal tersebut maka akan terdapat upaya untuk mengurangi dampak
lingkungan namun dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Namun hal yang penting
untuk dicatat adalah terjadinya hubungan yang memberikan peluang untuk saling
berubah secara posistif antara satu dengan yang lainnya.
WBCSD
telah mengidentifikasi 7 (tujuh) elemen yang dapat digunakan dalam menjalankan
bisnis perusahaan untuk meningkatkan eko-efisiensi proses bisnisnya yaitu: 1)
mengurangi penggunaan bahan baku; 2) mengurangi penggunaan energi; 3)
mengurangi limbah beracun dari hasil produksi; 4) meningkatkan kemampuan daur
ulang; 5) memaksimalkan penggunaan energi terbarukan; 6) memperpanjang daya
tahan produk; dan 7) meningkatkan intensitas layanan.
Indikator eco-efficiency pada
tingkat penrusahaan dapat diterapkan untuk mengukur seberapa besar tingkat efisiensi
sumberdaya yang digunakan dalam suatu usaha. Misalnya seberapa besar sumber
daya energi, air dan bahan baku utama yang digunakan untuk mentransformasikan
menjadi produk yang layak jual. WBCSD menyarankan agar menggunakan ratio antara
nilai produk atau jasa per pengaruh lingkungan. Dari pernyataan WBCSD tersebut
selanjutanya oleh Fuse, Horikoshi, Y.Kumai dan Taniguchi, dalam penerapannya
disebut sebagai faktor eco-efficiency yang dapat diformulasikan dalam bentuk
persamaan sebagai berikut:
1.1 Keterkaitan
Eco-Efficiency dengan Infrastruktur Sumber Daya Air
Eco-efficient dalam pembangunan infrastruktur sumber daya air
merupakan upaya untuk mengurangi dampak negative terhadap lingkungan yang
disebabkan oleh kegiatan konstruksi, dalam hal ini adalah konstruksi
infrastruktur sumber daya air yang memiliki dampak signifikan terhadap
lingkungan sekitarnya. Dalam penerapan eco-efficiency, bahan baku
yang digunakan perlu mempertimbangkan berasal dari dalam negeri. Hal ini akan
mengurangi biaya pengiriman bahan baku sehingga akan lebih efisien dalam
penggunaan bahan bakar, yang pada akhirnya dapat mengurangi emisi karbon.
Pemanfaatan bahan bangunan dan teknologi ramah lingkungan perlu
disosialisasikan dan dilaksanakan secara optimal untuk mengurangi dampak
kerusakan ekologis dalam pembangunan infrastruktur sumber daya air, serta
operasi dan pemeliharaannya.
1.2 Penerapan
Eco-Efficiency dalam Pembangunan Infrastruktur Sumber Daya Air
Dalam
rangka penerapan konsep eco-efficiency dalam pembangunan
infrastruktur sumber daya air, Pemerintah Indonesia melakukan berbagai upaya
yang dijelaskan di bawah ini:
1. Konservasi
Sumber Daya Air
Konservasi
sumber daya air dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia dilatarbelakangi pada
beberapa hal sebagai berikut:
•
Perlunya keseimbangan kebutuhan air saat ini dan di masa mendatang
•
Penggunaan persediaan air yang ditampung pada saat musim
hujan untuk digunakan pada musim kemarau
•
Meningkatkan ketersediaan air tanah
•
Perbandingan infrastruktur skala besar dengan infrastruktur skala kecil
•
Kebijakan Pemerintah Indonesia: peningkatan embung yang
dikelola oleh petani di perdesaan dan daerah pertanian.
Berdasarkan
pengalaman, Pemerintah Indonesia saat ini mencoba untuk meminimalkan dampak
pembangunan infrastruktur sumber daya air melalui pembangunan skala mikro yang
meningkatkan partisipasi masyarakat untuk mendukung konsep ramah lingkungan.
Dengan partisipasi masyarakat, biaya operasi dan pemeliharaan dapat lebih
efisien dan anggaran dapat dikurangi. Perbandingan dalam pembangunan
infrastruktur sumber daya air ditampilkan dalam tabel berikut.
Tabel
1: Perbandingan Bendungan dan Embung
Kriteria
|
Bendungand
|
Field Reservoir
(Embung)
|
Fungsi
|
Jangka Panjang
|
Jangka Pendek
|
Investasi
|
Tinggi
|
Rendah/Moderat
|
Partisipasi Masyarakat
|
Rendah
|
Tinggi
|
Dampak Sosial
|
Tinggi
|
Rendah/Moderat
|
Kapasitas
|
Besar
|
Kecil/Medium
|
Dampak Lingkungan
|
Resiko Tinggi
|
Ramah Lingkungan
|
Sumber:
Sebagai
tambahan pengembangan waduk dan embung, pemerintah juga mendorong konservasi
sumber daya air lainnya yang memberikan lebih banyak pada peningkatan air tanah
dan penguranan limpasan air permukaan. Konservasi sumber daya air yang
diperkenalkan oleh Handojo (2008) dapat dibagi menjadi konservasi di hulu,
tengah dan hilir sungai wilayah.
A. Daerah
Hulu (Parit resapan)
1.Parit
resapan merupakan penampungan air sementara untuk menampung limpasan air
permukaan supaya terserap ke dalam tanah.
2.Fungsi
dari parit resapan tersebut adalah untuk mengurangi air limpasan, menyaring
polutan, dan meningkatkan pengisian ulang air tanah.
3.Parit
resapan dibuat dengan kedalaman kurang dari 1 m dan lebar 80 cm. Parit dapat
diisi dengan kerikil atau dikominasikan dengan pipa.
Gambar
1: Parit Resapan di Daerah Hulu
A. Daerah
Tengah (Embung resapan)
1.Membuat
embung resapan: efektif dengan pendekatan keteknikan yang ringan, berdasarkan
pada prose salami untuk mengantisipasi banjir dan kekeringan.
2.Menyediakan
waktu untuk air dapat terserap
3.Menampung
air hujan yang dapat digunakan saat musim kemarau
4.Meningkatkan
kualitas air
Gambar
2: Embung Resapan di Daerah Tengah
A. Daerah
hilir (Sumur resapan)
1.Membangun
sumur resapan yang menjadi syarat dalam izim membangun bangunan khususnya di
Provinsi DKI Jakarta.
2.Meningkatkan
pengisian kembali air tanah.
3.Sebagai
upaya untuk mengatasi ekstrasi air tanah yang akan mengakibatkan penurunan
tanah.
4.Berkontribusi
dalam mengurangi limpasan air permukaan.
Gambar
3: Sumur Resapan di Daerah Hilir
Sumber:
1. Pengendalian
Banjir melalui Biopori
Biopori
merupakan metode penyerapan air yang berfungsi untuk mengurangi dampak banjir
dengan meningkatkan infiltrasi air ke dalam tanah. Metode ini dikembangkan oleh
Kamir R Brata, peneliti dari Institut Pertanian Bogor.
Konsep
Biopori:
Biopori
adalah lubang-lubang di dalam tanah yang terbentuk karena adanya berbagai
akitivitas organisme di dalamnya, seperti cacing, perakaran tanaman, rayap dan
organisme tanah lainnya. Dengan adanya aktivitas tersebut maka akan terbentuk
lubang-lubang yang akan menjadi tempat berlalunya air di dalam tanah. Bila
lubang-lubang seperti ini dapat dibuat dengan jumlah banyak, maka kemampuan
dari sebidang tanah untuk meresapkan air akan diharapkan semakin meningkat.
Meningkatnya kemampuan tanah dalam meresapkan air akan memperkecil peluang
terjadinya aliran air di permukaan tanah.
Penambahan
jumlah biopori tersebut dapat dilakukan dengan membuat lubang vertikal ke dalam
tanah. Lubang-lubang tersebut selanjutnya diisi bahan organik, seperti
sampah-sampah organik rumah tangga, potongan rumput, dan vegatasi sejenisnya.
Bahan organik ini dapat meningkatkan aktivitas organiseme dalam tanah sehingga
akan semakin banyak biopori yang terbentuk.
Dampak
dari biopori terhadap lingkungan dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.Meningkatkan
Daya Resapan Air.
Dengan
menggungakan lubang resapan biopori diharapkan dapat menambah bidang resapan
air sebesar luas dinding lubang. Sebagai contoh bila lubang dibuat dengan
diameter 10 cm dan dalam 100 cm maka luas bidang resapan akan bertambah
sebanyak 3.140 cm2 atau hampir 1/3 m2. Dengan adanya
aktivitas organisme tanah seperti cacing tanah pada lubang resapan, maka rongga
pada tanah akan terbentuk dan tetap terbuka sehingga dapat melewatkan air untuk
terserap ke dalam tanah. Dengan demikian kombinasi antara luas bidang resapan
dengan kehadiran biopori secara bersama-sama akan meningkatkan kemampuan dalam
meresapkan air.
b.Mengubah
Sampah Organik Menjadi Kompos
Lubang
resapan biopori diaktifkan dengan memberikan sampah organik kedalamnya. Sampah
ini akan dijadikan sebagai sumber energi bagi organisme tanah untuk melakukan
kegiatannya melalui proses dekomposisi. Sampah yang telah didekompoisi ini
dikenal sebagai kompos.. Dengan melalui proses seperti itu maka lubang resapan
biopori selain berfungsi sebagai bidang resapan air juga sekaligus berfungsi
sebagai pembuat kompos.
c.Memanfaatkan
Organisme Tanah dan atau Akar Tanaman
Seperti
disebutkan di atas, lubang resapan biopori diaktikan oleh organisme tanah.
Aktivitas organisme tanah dan perakaran tanaman selanjutnya akan membuat
rongga-rongga di dalam tanah yang akan dijadikan saluran air untuk meresap ke
dalam tanah. Dampak positih yang dihasilkan terhadap lingkungan adalah
mengurangi limpasan air permukaan dan dapat mengurangi penggunaan pupuk kimia
karena biopri dapat menghasilkan pupuk organic (kompos).
2. Pemanfaatan
Teknologi Lokal Tepat Guna
a.Infrastruktur
Irigasi
Dalam
pembangunan saluran irigasi, terdapat beberapa hal yang menjadi
pertimbangan Pemerintah Indonesia untuk membangung saluran irigasi baru.
Pertimbangan yang biasa umum dilakukan dalam membangunan saluran dengan bahan
beton dan batu adalah tingginya investasi untuk mengembangkan infrastruktur
irigasi dan kurangnya ketersediaan batu. Untuk mendukung pendekatan
eco-efficient, Pemerintah mempertimbangkan untuk mengembangkan teknologi yang
dapat mengurangi penggunaan batu sebagai konstruksi saluran irigasi, penggunaan
biaya yang rendah dan penguatan partisipasi masyarakat, serta pertimbangan
penggunaan material yang dapat mengurangi penggunaan batu sehingga eksploitasi
batu di sungai dapat dikurangi. Berdasarkan hasil yang pernah dilakukan,
efisiensi biaya dalam pembangunan irigasi mencapai 62,6% untuk saluran sekunder
dan 58,16% untuk saluran tersier.
Dalam
mengurangi penggunaan kayu sebagai material pembangunan infrastruktur, maka
didorong untuk dapat memanfaatkan bambu mengingat material tersebut mudah
ditemui di sisi sungai. Selain itu biaya dari material tersebut relatif rendah,
mudah untuk digunakan sehingga dapat mendorong partisipasti masyarakat, relatif
rendah dalam penggunaan air, dan dapat mempertahankan infiltrasi air untuk
penambahan persediaan air tanah.
b.Pembangkit
Listrik Mikrohidro
Saat
ini isu kelangkaan energi listrik yang menjadi fokus utama pemerintah. Pasokan
listrik di desa-desa juga merupakan perhatian utama. Untuk mengatasi hal
tersebut pemerintah mendorong partisipasi masyarakat dalam penyediaan energi.
Partisipasi diperlukan karena kurangnya persediaan energy listrik terutama di
desa-desa terpencil, harga bahan bakar yang tinggi, dan terdapat potensi untuk
mengembangkan pembangkit listrik mikrohidro. Pengembangan teknologi dengan
mendukung penggunaan energi terbarukan adalah Kincir Air Kaki Angsa yang
ditemukan oleh Djajusman Hadi dan Budiharto (Universitas Nasional Malang, Jawa
Timur).
Gambar
4: Pembangkit Listri Mikro-Hidro pada Saluran Irigasi
Sumber: Kakiangsa (2008)
Sumber: Kakiangsa (2008)
1. REKOMENDASI
Infrastruktur
dan dampaknya terhadap lingkungan adalah konsumsi terhadap sumberdaya (energi,
air,bahan dan lahan) selama konstruksi dan operasi. Pengurangan emisi sebagai
limbah dari sampah, gas rumah kaca, dan sebagainya perlu dipertimbangkan untuk
menciptakan pembangunan yang berkelanjutan.
Dalam
pembangunan infrastruktur sumber daya air, pemerintah sebagai regulator perlu
mensosialisasikan pentingnya pelaksanaan pembangunan dengan mempertimbangkan
faktor lingkungan sehingga dapat tercapai efisiensi baik dari sisi ekonomi
maupun ekologi. Hal ini perlu dipertimbangkan mengingat eskalasi harga minyak
dunia akan mempengaruhi harga bahan bangunan. Di sisi lain, kekhawatiran
terhadap peningkatan limbah material bangunan sejalan dengan pemahaman
masyarakat mengenai pembangunan berbasis lingkungan. Pada akhirnya, pelaksanaan
konstruksi perlu menekan sebanyak mungkin efek terhadap polusi air, udara, dan
suara.
Pemanfaatan
bahan bangunan yang ramah terhada lingkungan perlu didukung semaksimal mungkin,
dengan perhatian khusus dan insentif terhadap harga pasar. Penggunaan tidak
hanya didasarkan pada material buatan manufaktur, tetapi perlu juga
mempertimbangkan material alami.
Penguatan
masyarakat perlu ditingkatkan untuk mendukung pembangunan infrastruktur
berbasis eco-efficient. Indonesia telah menerapkan pembangunan
partisipatif untuk meningkatkan partisipasi dan kesadaran masyarakat pada
pembangunan, operasi dan pemeliharaan infrastruktur perdesaan.
Sumber:
http://www.bappenas.go.id/blog/?p=327
Tidak ada komentar:
Posting Komentar